Rabu, 14 Mei 2008

Senin, 12 Mei 2008

PMB: ANTARA GENGSI DAN KEMAMPUAN MELAYANI






PMB: ANTARA GENGSI DAN KEMAMPUAN MELAYANI

Pengantar

Bulan Juli bagi sebagian masyarakat merupakan bulan penuh harap-harap cemas. Karena Juli merupakan awal tahun pelajaran. Bulan yang menuntut pengeluaran ekstra. Orang tua harus menyiapkan sejumlah rupiah untuk anak-anaknya yang akan masuk sekolah atau melanjutkan pendidikannya. Tetapi sebaliknya, bagi sekolah, bulan Juli adalah kesempatan meraup rejeki. Mereka tanpa memikirkan daya beli, mematok harga bangku sedemikian tinggi. Tidak terkecuali untuk sekolah negeri. Sebuah ironi yang menggelitik nurani.

Antara Wajib Belajar, Matang Belajar, dan Matang Sekolah

UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan, “Setiap warga negara mempunyai hak yang untuk memperoleh pendidikan yang bermutu,” dan “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.” Selanjutnya pada pasal lain dinyatakan, “Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.” Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.

Melihat landasan tersebut, jelaslah nampak bahwa usia menjadi ukuran dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Sebenarnya, membicarakan usia sama dengan membicarakan psikologi anak. Menurut Ngalim Purwanto dalam bukunya dan pakar psikologi lainnya bahwa anak siap untuk belajar kalau dia telah mencapai kematangan. Yang dimaksud dengan matang untuk bersekolah adalah bilamana anak itu telah dapat dan sanggup dimasukkan ke kelas 1 SD.

Kebanyakan orang tua, jika akan memasukkan anaknya ke SD, hanya berpedoman kepada umur belaka. Asalkan anaknya sudah berumur kurang lebih 6 tahun sudah dapat dimasukkan ke kelas 1 SD. Pendapat demikian sering kali benar, tetapi acap kali meleset. Pada kenyataannya, terkadang seorang anak yang telah berusia lebih dari 6 tahun belum dapat dan belum sanggup bersekolah, tetapi justru ada anak yang berusia di bawah 6 tahun telah dapat dan sanggup bersekolah.

Jelaslah, usia bukan satu-satunya indikator yang dapat digunakan dalam penerimaan siswa baru kelas 1 SD, tetapi lebih kepada kematangan, yaitu suatu taraf perkembangan jasmani dan rohani yang cukup memadai untuk melakukan tugas sekolah. Seseorang dikatakan telah matang untuk bersekolah kalau dia telah mempunyaai kesanggupan – jasmani dan rohani – untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kehidupan sekolah. Dikatakan matang kalau anak telah mempunyai sedikit kesadaran akan tanggung jawab dan kewajiban; memiliki minat yang tertuju ke dunia di luar dirinya; perasaan intelektualnya telah berkembang, yang ditunjukkan dengan adanya minat untuk dapat membaca, menulis, dan berhitung; telah berkembang perasaan sosialnya; dan yang tidak boleh dilupakan adalah pertumbuhan badan dan kesehatannya telah cukup mampu menjalani tugas-tugas sekolah. Bila ditambah dengan telah berkembangnya fungsi jiwa anak seperti daya ingat, pendengaran, fungsi fantasi, dan fungsi bicara serta telah memiliki pengalaman yang cukup dari dunia sekitarnya, maka dapat dikatakan selain matang untuk bersekolah, anak pun matang untuk belajar.

Apabila sekolah (baca SD), guru, dan masyarakat telah mengerti dan menyadari psikologi anak dan psikologi pendidikan yang disampaikan di atas, barangkali tidak akan terjadi pemerkosaan hak-hak anak dengan memaksa anak untuk belajar, sementara anak sendiri belum memiliki kesanggupan untuk itu. Perlu disadari, bahwa salah satu faktor penyebab tingginya angka mengulang (tidak naik) di kelas 1 SD adalah kematangan anak untuk bersekolah dan kematangan untuk belajar yang belum terpenuhi.

Antara gengsi dan melayani

Pada dekade 1970-an dan sebelumnya, penerimaan murid baru kelas 1 SD tidak melihat umur – seperti yang dialami Penulis – tetapi cukup memegang telinga kiri dengan tangan kanan melalui bagian atas kepala. Bila mampu menyentuh telinga, berarti anak diterima jadi murid baru. Tetapi bila tidak bisa, jangan harap diterima. Bagaimana sekarang?

Sebagian besar SD, karena desakan orang tua dan kesadaran yang kurang, dalam penerimaan murid baru seringkali melupakan faktor kematangan dan juga umur anak. Bagi orang tua dan sekolah yang penting anak telah tamat TK atau promosi orang tua bahwa anaknya telah bisa baca tulis, cukup menjadi syarat penerimaan. Mereka lupa, bahwa bagi sebagian anak termasuk yang keluaran TK, sekolah (baca SD) merupakan lingkungan baru, dunia baru di luar dirinya dan keluarganya. Sehingga memerlukan penyesuaian diri yang tidak mudah. Dengan demikian, dapat dikatakan kematangan adalah syarat mutlak dalam penerimaan murid baru kelas 1 SD.

Selain syarat kematangan, ada satu syarat lain yang harus dipenuhi oleh sekolah, yaitu kemampuan dalam melayani. Dalam UU Sisdiknas dikatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Artinya, sekolah harus mampu melayani siswa dengan sebaik-baiknya, karena itu merupakan hak mereka dan kewajiban bagi sekolah. Apakah dalam penerimaan murid baru (PMB), sekolah memperhatikan hal ini?

Jarang sekali dalam PMB, sekolah – kecuali sekolah tertentu – mencantumkan jumlah maksimal murid yang akan diterima. Padahal, semua tahu semakin sedikit jumlah murid pada satu kelas semakin baik pula pelayanan yang dapat diberikan. Kenyataannya, sekolah cenderung menerima murid sebanyak-banyaknya. Sehingga pada satu kelas sering terjadi memiliki jumlah murid yang tidak ideal, bahkan ada satu kelas yang memiliki murid lebih dari 70 orang. Mungkinkah pembelajaran akan efektif pada kelas yang demikian gemuk?

Bagi sekolah, sepertinya PMB merupakan sebuah gengsi. Mereka beranggapan semakin banyak murid yang diterima, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat pada sekolah. Akhirnya, sekolah pun bersembunyi di balik itu, dengan melupakan kewajiban dan kemampuan sekolah dalam memberikan pelayanan. Sepertinya sekolah hanya memikirkan jumlah rupiah – melalui beberapa pos pungutan yang terkadang mengada-ada – yang dapat diterima dari kegiatan PMB ini, tanpa memikirkan daya tampung dan kemampuan melayani secara optimal. Bagaimana dapat melakukan proses pembelajaran yang bermutu jika hal ini saja dinafikkan?

Bila pemerintah dan tentu saja masyarakat menginginkan pendidikan bermutu, sudah saatnya PMB mendapat perhatian yang serius. Pemerintah harus mengeluarkan seperangkat aturan yang mengikat disertai dengan pengawasan. Sehingga, bila ada pelanggaran dalam PMB, sudah seharusnya diberikan sanksi. Masyarakat dan sekolah harus diberikan penyadaran, bahwa kematangan untuk belajar dan untuk bersekolah merupakan prasyarat pendidikan bermutu. Semoga ke depan tidak terdengar lagi sekolah berlomba menerima murid sebanyak-banyaknya. Dan semoga pula tidak terdengar lagi keluhan masyarakat akan mahalnya uang pangkal sekolah. (Jaelani Riesman-Kepala Sekolah)